Sunday, October 30, 2011

Kehidupan di Kota Yogyakarta Part I

Yogyakarta.. iya, begitulah sebutan untuk kota pelajar ini. Kota yang penuh dengan hiruk pikuk mulai dari pagi hari sampai malam hari dengan berbagai kegiatan sejumlah anak manusia, baik sekolah maupun bekerja. Pada bulan Oktober 2008 silam, pertama kali saya menginjakkan kaki di wilayah kekuasaan Sultan Hamengkubuwono X yang dikenal dengan Keraton Ngayogyakarta ini, langsung disambut dengan penuh kehangatan oleh adik sepupu saya di Bandara Adi Sucipto. Setelah turun dari tangga pesawat, saya bisa merasakan hawa yang sangat sejuk, nyaman dan menyenangkan. Setiap tarikan nafas saya pada saat itu tidak terlepas dari ucapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan bumi dan langit beserta seluruh isi di antara keduanya.
Sungguh, ini pengalaman pertama saya menapakkan kaki di bumi Merapi yang telah terkenal keganasannya dalam memuntahkan lahar dan awan panas (wedhus gembel) yang telah banyak memakan korban jiwa. Tentu, saya tidak melihat keganasan Merapi ini dari sisi negatifnya, melainkan keganasan ini merupakan suatu berkah dari Allah SWT dengan menjadikan kota Ngayogyakarta sebagai bumi yang sangat subur dan juga sejuk. Terlepas dari itu semua, inilah kota yang telah menjadi pilihan saya untuk menjalani kehidupan dan melanjutkan studi di Sekolah Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Singkat kata, singkat kalimat dan juga singkat cerita, saat ini saya sudah semi menetap jadi warga Kota Yogyakarta. Bertahun-tahun tinggal di sini, banyak suka duka yang saya rasakan termasuk juga soal makanan. 
Lhoo, kok malah nyasar ke soal makanan gan?
. Yaa gitu dech, pertama kali saya menjalani ibadah puasa di Kota Yogyakarta pada tahun 2010 lalu benar-benar sangat mengenaskan. Bagaimana tidak, menjelang H -7 sampai H +7 tidak ada satupun warung yang menjual makanan untuk berbuka puasa. Pada tulisan kali ini, saya tidak akan menjelaskan bagaimana duka dalam berburu makanan berbuka puasa dan juga makanan untuk sahur. Pada tulisan kali ini saya ingin berbagi informasi lebih jauh mengenai indahnya menjalani kehidupan di Kota Yogyakarta. So, gak usah ngebahas yang suram-suram yaa :D
Hidup di Kota Yogyakarta memang sangat menyenangkan, di samping warga masyarakat yang ramah dalam bertutur kata, bersikap dan juga berperilaku, membuat saya merasa betah berlama-lama tinggal di sini. Banyak pelajaran berharga dan juga pengalaman hidup yang tidak pernah saya dapatkan di daerah lainnya di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri, kehidupan Kraton Yogyakarta telah menyatu dengan masyarakat pribumi, sehingga anggah ungguh masyarakatnya masih terjaga sampai sekarang. Segi kesopanan masih tetap dikedepankan dalam bertutur kata dan juga dalam bertindak tanpa memandang derajat, agama maupun ras. Hal inilah yang membuat saya semakin tertarik untuk mempelajari lebih jauh mengenai kebudayaan Kraton Yogyakarta.
Selama bertahun-tahun saya tinggal di Kota Yogyakarta, saya telah menemui berbagai macam kalangan mulai dari kelas atas sampai kelas bawah, diantaranya : pejabat pemerintahan, pakar pendidikan, pegawai pemerintahan/sipil, pegawai swasta, pedagang di pasar tradisional, pedagang burjo, pedagang angkringan, pemulung, pengamen bahkan preman jalanan maupun preman kelas kakap. Semuanya telah saya jumpai, tentunya di beberapa tempat yang berbeda. Jujur, dari berbagai kalangan yang saya temui tersebut, tidak terlihat adanya suatu nuansa keangkuhan, keserakahan, maupun perbuatan yang menyinggung perasaan saya. Namun, semuanya memiliki karakter yang berbeda-beda sesuai dengan profesi dan kegiatan mereka masing-masing.
Aktivitas masyarakat Kota Yogyakarta mulai terlihat menjelang fajar pada pukul 04.00 WIB, terlihat pemulung yang berkeliaran di tiap-tiap rumah penduduk. Ini sering terpantau oleh saya hampir setiap hari, para pemulung masuk ke dalam pekarangan rumah yang tidak terkunci untuk sekedar memungut sampah yang masih memiliki nilai jual. Para pemulung tersebut mendatangi rumah-rumah dengan berjalan kaki, mendayung sepeda, bahkan ada juga yang mendayung becak. Hal ini telah saya konfirmasi kepada para penduduk setempat yang menjelaskan bahwa ada beberapa tukang becak yang menjadi pemulung untuk menambah penghasilan mereka.
Pada pukul 05.00 WIB, mulai terlihat beberapa kendaraan yang lalu lalang seperti truk-truk pick-up yang membawa hasil bumi menuju ke arah pasar. Terilhat juga beberapa sepeda ontel yang dikayuh oleh kakek-kakek dan juga nenek-nenek yang umurnya berkisar 70 tahun ke atas. Mereka mengantarkan hasil bumi ke pasar untuk dijual, seperti : sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan kue tradisional, telur asin, telur ayam kampung dan lain sebagainya. Perasaan senang dan penuh semangat tergores di raut wajah para kakek dan juga para nenek yang sudah tua renta itu. Mereka mengayuh sepeda ontel yang sudah tua tersebut dengan harapan dagangan mereka akan habis terjual dan dapat memuaskan para pelanggannya.
Saya sering berlangganan jajanan/kue tradisional pada seorang nenek (mbah), yang setiap hari mengayuh sepeda ontel dari Bantul menuju Jalan Kaliurang. Saya tidak bisa membayangkan, betapa lelahnya sang nenek (mbah) mengayuh sepeda ontelnya setiap hari untuk berdagang jajanan/kue tradisional dengan mengetuk pintu dari satu rumah ke rumah lainnya. Yang membuat saya makin terkagum-kagum dengan sang nenek (mbah) tempat saya berlangganan jajanan/kue tradisional, bahwa kegiatannya tersebut telah ditekuni sejak 30 tahun yang lalu. Wau, sungguh luar biasa keteguhan beliau dalam menjalankan aktivitas ini dan tetap konsisten walau pekerjaan ini terasa berat bagi sebagian orang untuk wanita seumuran beliau yang telah mencapai 70 tahunan. Beliau memang merasa senang menjalankan pekerjaan sebagai pedagang jajanan/kue tradisional selama puluhan tahun. Setelah selesai berjualan jajanan/kue tradisional, maka beliau kembali pulang ke Bantul untuk melanjutkan tugas lainnya yaitu sebagai petani.
Dari penjelasan sang nenek (mbah) tersebut, saya bisa menarik suatu kesimpulan mengenai makna hidup, bahwa : “Seberat apapun pekerjaannya, jika kita mencintai pekerjaan yang kita tekuni tersebut, walau umur semakin hari semakin tua, maka kita tidak akan mengeluh dan akan tetap bersyukur kepada Yang Maha Kuasa”.
Itulah pelajaran hidup pertama yang saya dapatkan dari seorang nenek (mbah) yang telah tua renta, namun masih tetap bersemangat untuk bertahan hidup dengan berjualan jajanan/kue tradisional di Kota Yogyakarta. Pelajaran ini tentu tidak saya dapatkan di institusi pendidikan tempat saya mengenyam pendidikan formal. Namun ini sudah cukup untuk membuat saya merenung bahwa di bawah sana masih banyak orang-orang yang mencoba bertahan hidup dengan melakukan pekerjaan yang menurut saya sangat berat untuk seumuran nenek (mbah) yang telah berumur 70 tahun ke atas tersebut. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Amin......


// Jogja, 2 Oktober 2011

No comments: